Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Nusantara | Pikiran Sejarah
Home » » Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Nusantara

Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Nusantara

Posted by Unknown
Pikiran Sejarah, Updated at: 4:15 AM

Kali ini History Mind akan menjelaskan bagaimanasih masuknya agama Islam ke Indonesia atau Nusantara ?. Dengan pertanyaan tersebut maka penulis akan menjelaskan berdasarkan data yang penulis ambil dalam berbagai sumber buku yang cukup terkenal. 

Berdasarkan data - data yang penulis ambil. Sejarah masuknya Islam dapat diketahui menurut sumber - sumber sejarah yang ada seperti pada “Hikayat Radja-Radja Pasai” dan “Sedjarah Melayu” sumber tertua dari kita sendiri yang dapat diperbuat pegangan untuk menetapkan kepastian mengenai:
  • Abad pemasukan Islam sekaligus dengan pengembangannya tanpa terhambat oleh faktor lain.
  • Dari mana datangnya
  • Daerah mulainya dan cara kesukarelaan pengembangannya
Dengan mempergunakan “Sedjarah Melayu” sebagai pegangan, maka peng-Islaman berlangsung berturut dalam tempo yang dapat dikatakan serentak dan pendek menurut gilirannya: Barus, Lameri (Lamuri), Aru, Perlak dan Pasai.

Pembawa Islam adalah Syekh Ismail langsung dari Mekkah dan pembantunya fakir Muhammad dari Maa’bri (Malabar). Walaupun keterangan tambahan tentang kedua nama ini tidak diperoleh, tapi keterangan bantahanpun tidaklah pula ada.

Keterangan Professor Schrieke dalam “Het Boek van Bonang” yang seolah-olah menyebut bahwa berkembangnya Islam di Pasai juga dengan Pedang, atas dasar Cerita Odorigo (1323 M) dan disebutnya juga dari Ibn Batutah (1345 M), harus dianggap sebagai tidak beralasan. Kisah Odorigo yang mengatakan diantaranya bahwa penduduk masih biadab adalah membuktikan dustanya, disamping meneguhkan pendapat bahwa keteranagan Odarigo adalah tendensius sekali. Pertikaian saudara yang pernah terjadi dimasa Ibn Batutah berkunjung ke Pasai, tidak kena mengenai dengan soal peng-Islaman yang sudah lama berlangsung. 

Dengan menganutnya Merah Silu menjadi Islam dan selanjutnya melanjutkan pemerintahan, sekaligus kerajaannya dapat dikatakan kerajaan Islam.

Peristiwa berkembangnya Islam di Pasai dapat diperteguh oleh bekas-bekas dan petunjuk yang dapat diyakini.
  • a) Dari kesan perjalanan Ibn Batutah dipertengahan abad ke 14. Kesan-kesannya diakui oleh ahli-ahli sebagai kesan-kesan perjalanan terbaik pada zamannya.
       Dari padanya diketahui nama Malikut-Thahir yang menjadi raja. Nama ini jelas dikenal dalam “Hikayat Radja-Radja Pasai” sebagai salah seorang keturunan Maliku’s-Saleh.
  • Sampai sekarang masih dapat dipersaksikan adanya beberapa mata uang Pasai dari awal abad ke 14. Nama raja yang disebut mata uang itu menunjukkan dan membuktikan pertaliannya dengan Maliku’s-Saleh,
  • Dari kesan-kesan Cheng Ho, yang berkunjung di awal abad ke 15 berkali-kali ke Pasai.
  • Dari batu nisan Maliku’s-Saleh sendiri, yang tahunnya berada disekitar masa tidak lama setelah Marco Polo berkunjung kesana. Ratusan makam raja-raja di Pasai, Blang Me, Geudong dan lain-lain disekitar itu meneguhkan keyakinan tentang berdirinya kerajaan Maliku’s-Saleh dan pertaliannya satu sama lain.
Dapat diyakini bahwa semenjak Maliku’s-Saleh menjadi pemeluk Islam, kegiatan mengembangkan syariah Islam menjadi timbul dan terlaksana cepat. Demikianlah, dalam tempo singkat Islam menjalar keseberang, ke Kedah, ke Terenggano dan dengan cepat pula ditempat ini terlaksana pemerintahan Islam sebagai ternyata dari nukilan pada sebuah batu mengenai salah satu perundingan-perundingan.

Tidak lama setelah Malaka dibangun dipermulaan abad ke 15 maka serentak dengan suatu perkawinan raja dengan puteri Pasai, raja Malaka-pun masuk Islam dan berkembanglah cepat syiar Islam dinegeri itu. Dari Malaka Islam berkembang ke Kalimantan, yaitu ke Brunei.

Islam berkembang ke tanah Jawa, langsung maupun melalui Malaka. Sumatera Barat menerima Islam dari Aceh.

Sumber suatu “Hikayat Aceh” yang mengatakan bahwa pada hari Jumat tanggal Ramadhan sanah 601 Hijriah (Masehi 1204) adalah hari Sultan Djohan Sjah menaiki tahtanya di Daja atau Lamuri dan bawa Sultan ini berasal dari atas angin (dari Parsi, Rum atau Turki) dapat dijadikan petunjuk bahwa kemungkinan berkembangnya Islam yang dibangkitkan oleh pihak penguasa (raja) adalah lebih cepat dari pada yang dimaksud oleh “Hikayat Radja-Radja Pasai” dan “Sedjarah Melayu” 

Namun dengan ini, perlu diselidiki apakah tokoh Djohan Sjah yang telah berhasil naik tahta itu mungkin lebih dulu dari Maliku’s-Saleh, mengingat bahwa dalam suatu “Hikayat Aceh” yang lain ada pula disebut bahwa raja beragama Islam yang pertama di Aceh adalah Sultan Mughayat (awal abad ke 16). Sebelum itu dikatakan rajanya bergelar “Meurah” dan berkuasa dalam lingkungan masyarakat kecil.

Batu Nisan di Leran (Gresik) yang mengatakan bahwa ada seorang puteri Islam, bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal di tahun 494 H (1102 M) paling tinggi dapat dijadikan pegangan bahwa puteri Islam itu sudah pernah berada disana disekitar masa tersebut.

Namun beradanya puteri itu disana tidaklah sendirinya menjadi petunjuk bahwa disitulah permulaan beradanya penganut Islam. Petunjuk-petunjuk yang begitu jauh ditemui dibagian Jawa Timur tidak memperteguh kesan tentang adanya suatu masyarakat Islam yang bagaimanapun kecilnya dalam pemerintahan bukan Islam dimasa sebelum abad ke 15.

Sumber-sumber Sejarah Arab menegaskan bahwa berbagai Bandar di Sumatera sejak abad ke 9 (catatan Mas’udi) sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islam mendatangi tempat-tempat dimaksud.

Berdasarkan sumber-sumber orang luar (Arab dan Tioghoa) maka besar sekalipun kemungkinan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke 1 Hijriah.

Dalam tahun 671 M (lebih kurang 40 tahun sejak wafatnya Nabi) telah berkunjung ke Sriwijaya seorang sarjana Tioghoa bernama I-Tsing. Dia datang dengan kapal orang Po se (Parsi), dan tinggal disana untuk studi selama 6 bulan. Keterangan-keterangan berikutnya menunjukkkan bahwa lalu-lintas laut antara Arab, Parsi, India dengan Sriwijaya ke Tiongkok adalah ramai. Pemegang peranan dilautan adalah pelaut-pelaut Parsi, suatu negeri yang sudah menganut Islam. Kedatangan mereka tak dapat tidak menghendaki perhubungan dengan penduduk bangsa kita. Sebab itu bagaimanapun juga diantara penduduk tentulah sudah pula terdapat penganut Islam. Pendapat ini didasarkan bahwa orang-orang Parsi yang berdiam di Sriwijaya sebagai pendatang, baik karena untuk menjaga dagangan yang masih belum selesai maupun untuk menjadi wakil dari atasannya, sekurang-kurangnya memerlukan tenaga pembantu penduduk setempat untuk penyelenggaraan rumah tangga perusahaannya. Banyaknya: pendeta-pendeta Budha menurut I-Tsing sampai berjumlah 1.000 orang dan banyaknya penukar uang sampai 800 orang mengesankan ramainya Sriwijaya.

Menurut beberapa sarjana yang dimaksud dengan orang-orang Pose tidak selamanya orang Parsi, tapi juga orang Melayu. Petunjuk ini meneguhkan teori bahwa orang-orang Melayu sendiri mengambil bagian besar dalam lalu-lintas pelayaran samudera. 

Nama Pose yang dipakai oleh orang Tioghoa mungkin pada suatu petunjuk untuk suatu golongan Islam, karena itu dapat diyakinkan bahwa pelaut-pelaut Melayu-pun ketika itu sudah pula menganut Islam.

Dalam catatannya T’ang Dinasty ada disebut-sebut tentang raja Tashi. Tashi disamping untuk sebutan terhadap orang-orang Arab, maka orang Tionghoa ketika itu umumnya memanggil orang-orang lain yang beragama Islam dengan Tashi.

Menurut cerita yang terjadinya abad ke 1 Hijriah pula, Raja Tashi telah mengirim peninjau ke Holing yang dirajai oleh seorang perempuan bernama Sima. Penunjuk lainnya mengatakan bahwa Tashi dimaksud ini sebelah barat ujung Sumatera. Ada alasan untuk menyakinkan bahwa wilayah yang dimaksud Lamuri atau Rami yang disebut oleh orang Arab dalam abad ke 9. 

Maka kemungkinannya ialah bahwa Tashi itu sudah mempunyai raja yang beragama Islam.

Professor Nainar mengatakan bahwa Ramni adalah Lam No, yang letanya dipantai barat ujung Sumatera. Disitulah mulai maksudnya Islam menurut katanya. Memperhubungkannya dengan catatan Tiongkok itu, ada kemungkinan Tashi dimaksud adalah Lam No atau Ramni ini. Petunjuk-petunjuk lain yang menyakinkan lebih dekat kemungkinannya dari Lam No atau umpamanya Sumatera Barat seperti ditulis oleh Prof. Dr. Hamka, kiranya memerlukan lagi keterangan tambahan.

Catatan lebih jelas tentang beradanya penduduk Islam di Indonesia adalah Abu’l Fida (kutipan dari “Muhallabi”) yang mengatakan bahwa dibandar kalah penduduknya tiga macam, yakni Muslim, Hindu dan Parsi. Bandar ini ramai semenjak orang-orang Arab meninggalkan Canton ditahun 878 Masehi.

Sulaiman (850 M) mengatakan bahwa raja Sriwijaya menjadi raja pula untuk Rami dan Kedah. Memperhatikan bahwa nama Rami lebih dulu disebut-sebut sebelum Kedah, maka beralasan untuk mengatakan bahwa Rami lebih dahulu ramai dari pada Kedah, dan oleh karena itu pendatang-pendatang yang menetap seperti saudagar-saudagar Arab itu tentulah sudah berada juga disana lebih dulu, sebelum mereka menjadi penetap di Kedah.

Mengenai soal dari mana sebenarnya sumber Islam masuk ke Indonesia, harus dibahas secara hati-hati. Dan tidak benar kalu dikatakan langsung dari Arab saja, atau langsung dari Parsi saja, atau melalui Gujarat dan Malabar/Koromandel saja. Bahkan tidak benar jika dikatakan bahwa agama Islam dimasukkan sendiri oleh bangsa Indonesia saja walaupun tidak dapat dibantah bahwa orang Indonesia sanggup mengarungi lautan yang jauh.

Agama Islam sudah dikenal di Indonesia karena kedatangan pedagang-pedagang Arab dari negerinya pada abad ke 1 Hijriah.

Apabila memang agama Islam dimasukkan oleh pedagang ini, maka tidak dapat disangkal bahwa agama ini sudah berkembang sejak zaman mereka datang. Menurut catatan perdagagangan luar negeri di Sriwijaya meningkat tinggi walaupun saudagar-saudagar yang datang sudah beragama Islam dan raja-raja atau orang-orang besar di Sriwijaya masih beragama Budha.

Van Leur dalam “Indonesian Trade and Society” membantah pendapat Krom bahwa pengembanagan agama Islam sebagaimana tadinya terjadi dengan pengembangan agama Hindu adalah dilancarkan atas dasar motif dagang. Van Leur condong kepada motif politik atau dua-duanya. Motif dagang ditujukan oleh saudagar-saudagar Gujarat kepada tokoh-tokoh yang menguasai perdagangan ditempat. Sebaliknya motif politik ditujukan kepada penguasa perdagangan tersebut untuk menguasai pemerintah.

Dapat dikatakan bahwa salah satu atau keduanya tidaklah tepat karena Islam adalah untuk pengabdian kepada Allah, kepada Maha Kuasa dan Mahatahu yang umat manusia wajib tunduk. Pengaruh-pengaruh dagang dan pengaruh politik menurut peristiwanya masing-masing turun naik mengalami pasang surut pasang naik tidak karena persoalan sukses atau tidak sukses dalam pengembangan agama Islam, walaupun secara kebetulan agaknya ada terjadi sebagai itu.

Agama Islam telah dibawa masuk oleh mereka (baik kebetulan ia pedagang maupun memang menjadi penganut biasa yang ingin menjalankan perintah Tuhan karena setiap muslim harus menjadi propagandis Islam, ataupun oleh guru-guru agama) adalah menempuh prosesnya sesuai dengan kemudahan yang didapati oleh siapa yang mengembangkannya.

Kepedalamannya yang lalu lintasnya amat sukar, sesudah berabad-abad berulah dimasuki oleh Islam. Jika diingat bahwa hingga menjelang datangnya Van der Tuuk dipertengahan abad ke 19 ke Tapanuli bagian terbesar pedalaman masih menganut animisme padahal beberapa kilometer kota-kota ditepi pantai sudah berabad-abad lamanya penduduk beragama Islam, maka dapat kiranya dipahami bahwa faktor lalu lintas turut merupakan segi-segi yang mempengaruhi dalam masalah pengembangan Islam.

Karena itu menurut keadaannya ada berbagai kejadian tentang perkembangan itu, yang pada pokoknya bergantung pada kenyataan siapa lebih dulu tiba didaerah-daerah yang bersangkutan.

Dalam pada itu satu hal yang nyata ialah bahwa orang-orang Arab dan Parsi yang sudah beragama Islam adalah lebih dulu datang sudah beragama Islam. Ini diteguhkan oleh kenyataan bahwa orang Arab dan Parsi lebih dulu menganut Islam dari orang India. Bukan tidak boleh jadi bawa orang-orang Gujarat dan India lainnya turut mendapat “saham” dalam pengembangan Islam ke Indonesia, sebagai juga bukan tidak boleh jadi orang-orang Indonesia sendiripun sejak jauh-jauh hari sudah berusaha sendiri datang ke negeri Arab untuk menunaikan Haji dan untuk seterusnya mengembangkan Islam sekembalinya.

Jelasnya, bahwa yang pertama adalah orang Arab sendiri. Sesudah itu menurut keadaan setempat, ada yang dikembangkan oleh orang Parsi, ada yang dikembangkan oleh orang Gujarat dan Malabar dan tidak sedikit pula tentunya yang dikembangkan orang Indonesia sendiri sejak masa-masa permulaannya sekali.

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Copyright © 2015 Pikiran Sejarah. All Rights Reserved
Template By Johny Wuss Design by CB Blogger