Tanah Gayo, Tanah Alas dan Batak: BAGI HASIL DI HINDIA BELANDA | Pikiran Sejarah
Home » » Tanah Gayo, Tanah Alas dan Batak: BAGI HASIL DI HINDIA BELANDA

Tanah Gayo, Tanah Alas dan Batak: BAGI HASIL DI HINDIA BELANDA

Posted by Unknown
Pikiran Sejarah, Updated at: 7:13 PM

Tanah Gayo merupakan suatu daerah petani, orang hanya menyerahkan tanah untuk digarap orang lain bila sawah tersebut letaknya jauh dari rumah si pemilik. Para pemilik yang penghasilan utamanya bukan di bidang pertanian biasanya akan membagihasilkan atau menyewakan tanah yang mereka miliki untuk digadaikan kepada mereka (petani). Di dataran tinggi Toba, di daerah-daerah penjualan tanah jatuh ke tangan pemilik tanah yang luas, penduduk selebihnya menggarap tanah-tanah ini dalam sistem bagi hasil.



Untuk daerah Pangarungan dikatakan bahwa raja mengusulkan supaya tanahnya yang begitu luas untuk diolah sendiri, diserahkan pemakaiannya kepada seorang parripe (orang yang berasal dari tempat lain), yang memintanya. Di Dolok Sanggu, tanh-tanah yang tidak dapat di olah sendiri akan digadaikan atau menyuruh orang untuk menggarapnya secara bagi hasil.


Pekerjaan penduduk Gayo adalah petani. Setiap keluarga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup yang kira-kira sama. Mereka akan mendapat uang dan akan menghematnya dan membelanjakan untuk memperluas sawah-sawah yang mereka miliki. Tenaga kerja didapat dari kalangan keluarga sendiri dan akan semakin banyak dengan adanya anggota baru dalam keluarga (kelahiran) serta dari kerabat-kerabatnya yang mengerjakan sebidang tanah atas dasar kontrak mawah (sebutan bagi hasil di Tanah Gayo). Untuk di Tanah Alas, bagi hasil akan terlihat pada waktu panen padi ataupun tembakau. Namun pandangan dari penulis ini bukan merupakan bagi hasil tetapi bagi usaha. Penyewaan tanah lebih banyak terlihat daripada bagi hasil. Siapa penggarap bagi hasil tidak ditemukan penjelasannya. Untuk di tanah Batak, penggarap bagi hasil umumnya terdiri dari penduduk sedesa yang kehidupannya cukup sulit.

Di Tanah Gayo, bagi hasil berlaku dalam penggarapan sawah. Penggarapan ladang oleh orang lain jarang dilakukan tetapi kadang-kadang ada terutama di Gayo Luos. Di Tanah Batak, menurut data resmi (1920) sejauh yang diketahui, bagi hasil hanya terjadi pada sawah-sawah termasuk juga kebun-kebun kopi di dataran tinggi Toba. Di daerah Kuria (di Kecamatan Barus), bagi hasil tidak dikenal, yang dikenal ialah sewa-gadai dengan jumlah padi tertentu. Di Sim-Sim (di Kecamatan Tanah Dairi), diperkenankan menggarap ladang secara bagi hasil kepada penduduk di luar desa sendiri tetapi jarang dilakukan.

Untuk di Tanah Karo bahwa di Kecamatan Simalengun tidak terdapat penjualan, penggadaian ataupun penyewaan tanah kering (1928), karena hak milik individual turun-temurun tidak berlaku atas tanah tersebut. Jadi kemungkinan sistem bagi hasil tidak ada. Menurut Westenberg (1914) menjelaskan tentang tanah kering yang berubah-ubah, sekali waktu kosong, pada waktu lain di tanami. Ladang-ladang ini memiliki nilai ekonomi rendah.

Jenis tanaman yang biasanya ditanam dalam sistem bagi hasil yaitu di Tanah Gayo menanam padi tetpi juga sesekali menanam tembakau di ladang. ladang tembakau bagi hasil teidak berlaku tetapi hanya bagi usaha.

Dalam sistem bagi hasil terdapat persyaratan-persyaratan yang harus ditempuh yaitu yang harus ada adalah tanah, modal dan tenaga kerja. Pada umumnya tanah milik orang yang menyediakannya untuk bagi hasil atau tanah yang digadaikan kepadanya. Modal tidak hanya berupa uang namun juga termasuk perlengkapan dan peralatan seperti hewan ternak yang membantu mempermudah dalam penggarapan tanah ataupun sawah. Selain hewan ternak, terdapat juga alat-alat pertanian yang harus ada dalam penggarapan sawah. Dalam tenaga kerja, penggarap sepenuhnya menanggung semua pengerjaan termasuk menyampaikan bagian dari hasil panen sampai kerumah pemilik tanah (Enda Boemi).

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Copyright © 2015 Pikiran Sejarah. All Rights Reserved
Template By Johny Wuss Design by CB Blogger