Sejarah Kedatangan Bangsa Tionghoa Di Pulau Jawa Indonesia | Pikiran Sejarah
Home » » Sejarah Kedatangan Bangsa Tionghoa Di Pulau Jawa Indonesia

Sejarah Kedatangan Bangsa Tionghoa Di Pulau Jawa Indonesia

Posted by Unknown
Pikiran Sejarah, Updated at: 10:52 AM

Berdasarkan sumber yang Pikiran Sejarah baca, Etnis Tionghoa merupakan kaum yang mempunyai tabiat suka merantau. Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai etnis komunitas Tionghoa di sudut dunia. Berbagai alasan mendorong mereka untuk meninggalkan tanah airnya, dari masalah politik, ekonomi maupun sosial. Yang jelas mereka merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari tanah leluhurnya.

Jawa merupakan salah satu tempat yang menjadi tujuan orang-orang Tionghoa perantauan itu. Mereka menyebut pulau itu dengan nama She po atau Zhao wa. Letak strategis dan ideal memancing minat orang Tionghoa untuk merantau memulai kehidupan baru di Jawa dengan didukung ilmu maritime yang subur dari jiwa mereka. Bangsa Tionghoa adalah bangsa yang piawai dalam membangun armada pelayaran Kapal – kapal Tionghoa yang terkenal dengan istilah Jung. Lalu kapan pertama kali orang Tionghoa mendarat di Pulau Jawa ?

Pada tahun 1292 di Karimun Jawa, pulau kecil yang terletak di sebelah utara kota Jepara, mendarat ribuan tentara Tionghoa. Mereka adalah tentara kubilai khan, penguasa Mongol di Tiongkok pada masa itu. Pada tahun 1289 ia mengirim seorang duta yang bernama Meng K’I ke Kerajaan Singasari di Jawa Timur. Duta tersebut oleh raja Singasari bernama Kertanegara disiksa dan disakiti dengan cara mukanya dirusak dan telinganya dipotong.Sepulangnya ke Tiongkok dilaporkanlah perbuatan Kertanegara, lalu perbuatannya dibalas dengan mengirim suatu kekuatan militer yang dipimpin oleh tokoh Tionghoa yang benama Kau Hsing. Namun sayang Kertanegara telah wafat seketika setelah pasukan Tionghoa datang di Jawa karena direbut oleh Jayatkatwang yang telah merebut kerajaan Singosari. Raden Wijaya menantu Kartanegara mampu membujuk pasukan Tionghoa tersebut untuk menyerang Jayatkrawang dan dapat terkalahkan. Sekarang giliran tentara Raden Wijaya bertempur melawan pasukan Tionghoa penyebabnya, konon Raden Wijaya bertempur melawan pasukan Tionghoa setengah wilayah Singosari pada Kubilai Khan seuusai perang melawan Jayakatwang. Disaat terjadi pertempuran tersebut tentara Tionghoa tercerai dari induk pasukannya dan mereka menetap di pesisirJawa Timur dan kawin dengan perempuan perempuan setempat. Sesudah peristiwa itu tidak lagi terdengar adanya pengiriman pasukan kekaisaran Tiongkok ke Jawa. Oleh karena itu, orang Tionghoa terkesan sebagai orang yang selalu menghindar dari konflik.



Ekspedisi terbesar Tiongkok terjadi pada tahun 1405 sampai 1433. Pimpinan ekspedisi dimagsud Laksamana Cheng ho, seorang tokoh legendaries di bidang pelayaran yang berasal dari Yunani. Ia adalah orang yang telah dikebiri dan lazim disebut kasim. Kota yang paling penting disinggahi laksamana Cheng Ho adalah Semarang asal nama kota tersebut (asam arang). Namun tidak berarti bahwa semua imigran yang datang dari Tiongkok berasal dari Semarang. Frekuensi kedatangan kapal-kapal Tiongkok di Jawa meningkat, terutama sejak runtuhnya Dinasty Ming dan terbukanya kembali perdagangan antara Tiongkok dengan Asia Tenggara pada tahun 1683, setidaknya ada 3 atau 4 Jung tiba di Jawa, jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 20 Jung. Kebanyakan orang Tionghoa pergi merantau tanpa membawa istri mereka yang menyebabkan mereka melakukan kawin campuran dengan penduduk lokal. Oleh karena kedatangan mereka, orang Jawa menyerap kata – kata yang berhubungan dengan teknologiTungku disebut oraang Jawa sebagai anglo, yang sebetulnya diserap dari bahasaa hokkian bang louw. Sedangkan Cat berasal dari kata chat, dan lain sebagainya. Baik para imigran maupun kaum peranakan Tionghoa di Jawa dengan cepatnya melakukan penetrasi ekonomi sampai ke segenap pelosok Pulau Jawa. Selain perdagangan mereka mereka juga mengelola pertanian dan industry. Hak penguasaan tanah didapat dengan cara menyewa dari kerajaan. 

Di bidang industry orang Tionghoa menunjukan kepiawaiannya. Mereka menjadi pelopor berdirinya pabrik gula di pulau Jawa. Walaupun masih menggunakan teknik sederhana dalam mengolah gula, mereka menggulung tebu dengan menggunakan tenaga kerbau. Penduduk pribumi yang dulunya membuat gula dari kelapa kini lebih suka memakai gula buatan orang Tionghoa. Industri lain yang tak kalah pentingnya adalah kerajinan pembuatangenteng dan batu bata. Dengan berkembangnya sentra – sentra industry maka orang Tionghoa tidak hanya bermukim di daerah pesisir pantai tapi juga didesa desa pedalaman. Berdasarkan laporan dari Loji di Jepara tak ada satupun orang Tionghoa yang tidak ada di pedalaman. Kerajaan Mataram memandang orang Tionghoa sebagai golongan yang harus dilindungi, kehadirannya sangat dibutuhkan dikerajaan tersebut. Kuatnya jaringan ekonomi membuat kemakmuran di kerajaan tersebut. 

Sebaliknya namun kompeni memandang orang Tionghoa sebagai “orang asing” dan memperalat mereka untuk kepentingan VOC. Sesuai perjanjian antara kompeni dengan kerajaan Mataram masa Amangkurat II, orang diatas tanpa kecuali berada di bawah kekuasaan hukum kompeni, walau mereka berada diwilayah kerajaan, karena mereka beranggapan pemerintah dibawah kompeni. Kompeni menetapkan sebuah desa Tionghoa merupakan objek pajak. Hal tersebut tidak menimbulkan permasalahan, karena mereka tunduk dibawah hukum yang diterapkan Kompeni di wilayah Mataram. Sesuai perjanjian antara kompeni dan Kartasura, orang Tionghoa, Arab, Bali, Bugis ditetapkan sebagai kaum yang ada dibawah hukum Kompeni. Perbedaan perlakuan hukum yang dilakukan oleh kompeni terhadap orang Tionghoa dan orang Jawa tidak terlepas dari mitos yang disengaja diciptakan oleh orang barat. Namun di samping hasil perpaduan budaya yang indah, interaksi orang Jawa dan Tionghoa juga menularkan virus peradaban. Orang jawa mulai mengenal arak, candu, dan judi dengan menggunakan kartu. Beberapa pembangunan secara fisik dilakukan etnis Tonghoa untuk orang Jawa dengan magsud mengembangkan perekonomian Jawa. Diantara orang Tionghoa sendiri sering terjadi perselisihan antar sesame. Untuk menyelesaikan perselisihan biasanya mereka menyerahkan pada tokoh yang disegani oleh kedua belah pihak. Tokoh yang berpengaruh seperti itu biasanya diangkat oleh Kompeni resmi sebagai pimpinan rakyat Tionghoa. Selain menjadi penengah mereka juga menjadi kepanjangan tangan VOC untuk menjangkau masyarakat Tionghoa. Kompeni memberikan gelar mereka mulai dari Letnan sampai Mayor. Orang Tionghoa pertama yang diberi gelar Kapiten adalah So Beng Kong di tahun 1619.

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Copyright © 2015 Pikiran Sejarah. All Rights Reserved
Template By Johny Wuss Design by CB Blogger